Cerita Pendek: NIKMAT

Nikmat. Satu kata yang identik dengan perasaan yang memuaskan dan menyenangkan. Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri mendukung pernyataan ini. Karena perasaan senang  inilah orang-orang berbondong-bondong mengejarnya. Mereka rela melakukan apa saja untuk mendapatkan sesuatu yang bernama nikmat itu.

Orang bisa menjadi malaikat saat ia mengejar nikmat. Dalam hal cinta, ketika seorang lelaki mengejar nikmat dicintai seorang wanita, ia akan mendapatkan kenikmatan ketika berhasil mendapatkan wanita yang dicintainya, selalu berusaha untuk menjadi sosok yang menyenangkan, sosok yang dibutuhkan serta membuat nyaman. Tentu saja dengan harapan si wanita akan berbalik mencintainya. “Ahhh, betapa nikmatnya cinta itu,” kata si lelaki dengan sumrimgah ketika hal itu benar-benar terjadi.
Namun, nikmat bisa berakibat sebaliknya, ketika seseorang menghalalkan segala cara untuk meraih sebuah kenikmatan. Orang bisa menjadi setan. Lihat saja berita yang banyak muncul di koran atau TV akhir-akhir ini. Ada lelaki yang sampai hati memerkosa wanita yang dicintainya, hanya karena tidak bisa mendapatkan hatinya si wanita. “bila ku tak bisa dapatkan cinta wanita itu, kunikmati saja tubuhnya,” mungkin itu yang dipikirkan si lelaki, dengan senyum yang memuakkan pastinya.
Begitulah nikmat, adanya perasaan senang yang menyertainya dapat mengubah orang menjadi malaikat dan juga setan. Wajar, karena seorang tokoh psikologi pernah mengatakan jika nikmat itu naluri dasar manusia. Teori kebutuhan manusia yang diungkapkan tokoh psikologi lain juga  didasarkan hal yang ujung-ujungnya juga pada satu kata. Nikmat.
Kita semua tahu, orang yang merasakan rasa nikmat pasti juga akan senang. Bagaimana mengetahuinya? Orang yang merasakan nikmat ia akan senyum lebar atau tertawa. Lihat saja orang yang baru saja orgasme, pasti akan tersenyum lebar. Begitulah nikmat bekerja.
Akan tetapi, nikmat bisa juga tidak berhubungan suatu hal yang menyenangkan. Berhubungan dengan sesuatu yang tak terduga, tak biasa. Anti-mainstream jika meminjam istilah orang yang mengaku kekinian. Ini mengingatkan pada suatu kejadian yang menimpaku.
Hari itu cuaca mendung, seakan ingin memberitahukan bahwa langit akan menumpahkan hujan. Langit masih enggan membiarkan berkahnya jatuh ke bumi. Aku pergi untuk mencari kenikmatan dari dalam diri segelas cokelat hangat.
Aku mengendarai motor matic di jalanan yang melintang dari selatan ke utara. Lalu lintas cukup lengang. Beberapa kali kulihat remaja berseragam yang baru saja pulang dari tempat ia menuntut ilmu. Kukendarai motor dengan santai, tanpa terburu-buru sambil menikmati suasana kota.
Beberapa saat melaju, sampailah aku di sebuah perempatan besar yang cukup ramai. Perempatan itu menghubungkan jalan menuju ke kota sebelah. Aku melihat ada beberapa mobil berjajar didepanku. Lampu menunjukkan warna hijau. Akupun langsung mengambil lajur kanan untuk mendahului dan berniat untuk belok ke kanan.
Di salah satu sudut perempatan. Kulihat plang himbauan untuk tidak memberi uang ke pengemis. Tiba-tiba…
Braak!!!
Tanpa kusadari tubuhku telah tersungkur di aspal jalanan. Kurasakan rasa panas di tempurung telapak kakiku. Kutoleh ke belakang, penasaran dengan apa yang terjadi. Kulihat beberapa mobil berhenti berjajar, terhalang sebuah mobil hitam paling depan. Memenuhi sudut perempatan. Pengemudi mobil hitam itu melongokkan kepala keluar jendela,  berbicara dengan cukup keras padaku, berusaha menyaingi riuhnya lalu lintas.
“Mas! Ayo menepi, kita bicarakan apa yang terjadi!”
Ia berbicara sambil menatapku cemas. Kulihat keadaan disekeliling. Motorku juga terjerembab ke aspal. Di bagian bawah mobil itu terdapat luka goresan yang cukup besar. Barulah aku mengerti dengan situasi yang terjadi. Aku ditabrak mobil itu dari titik butaku.
Aku segera bangkit dan meraih motorku, membawanya ketepi jalan. Mobil hitam itu juga berhenti dan parkir tidak jauh dari tempatku berdiri. Masih kurasakan panas di tempurung telapak kakiku. Kulihat lukisan berwarna merah menyala berada di sana. Terasa perih. Sedikit cemas melanda, karena aku tidak membawa surat-surat kendaraan.
Si pengemudi mobil hitam itu turun. Diikuti oleh seorang wanita, yang dari raut mukanya menatapku dengan cemas. Mereka masih muda. Kemungkinan masih berada di awal tiga puluhan. Ada seorang anak kecil yang berada di dalam mobil.
Si pengemudi mulai mengajakku berbicara, dengan kecemasan tergambar di wajahnya.
“Mas gimana keadaannya? Mana saja yang terluka?”
“Ini pak, Cuma di kaki aja , lecet”
“Motornya gimana mas?
“Kalo motor tidak apa apa mas”
Aku memastikan kembali keadaan motorku. Ternyata hanya beberapa bagian saja yang tergores.
“Maaf banget ya mas,” ujar si pengemudi sambil tetap dengan muka cemas.
“Tadi ada apa lo pak, kok saya tiba-tiba ditabrak, padahal saya udah bener jalurnya.”
“Maaf mas, saya terburu-buru tadi. Sedang ada janji.”
Si pengemudi merogoh saku belakang celananya. Ia mengeluarkan dompet dan mengambil uang.
“Ini mohon diterima sebagai ganti  biaya obat dan sebagai permintaan maaf saya.”
“Terima kasih banyak pak, lain kali lebih hati-hati ya”
Rupanya si pengemudi tidak mau memperpanjang masalah. Aku menerima uang yang diberikan. Sang istri pengemudi, yang dari tadi diam terus menatap cemas. Takut jika masalah yang ditimbulkan suaminya bias berbuntut panjang. Ia sekali lagi memastikan keadaanku.
“Beneran cuma itu saja yang luka kan mas.”
“iya bu, Cuma ini saja kok. Tidak apa-apa”
“Sekali lagi maaf banget ya mas”
“iya bu gapapa, tenang saja”
Akupun tersenyum kepada mereka. Ada yang berubah pada raut muka mereka. Kelegaan yang terpancar disana. Senyum ikut mengembang dari bibir mereka. Pasti ada kenikmatan yang dirasakan, karena mereka bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat. Aaahh, lagi-lagi nikmat hadir tanpa diundang.
Kami bersalamana dan saling menebar senyuman lebar. Seolah kami telah menyelesaikan beban yang berat. Kemudian mereka berdua kembali memasuki mobil dan perlahan berjalan pergi. Aku melambaikan tangan ketika mobil mulai berjalan dan mereka membunyikan klakson sebagai tanda perpisahan.
Mobil hitam itu berjalan semakin menjauh hingga lenyap dari pandangan mata. Aku terduduk di sebuah lincak yang berada tak jauh dari situ. Perih di kakiku semakin menjadi. Kulihat lukisan merah itu, warnanya semakin terang.
Aku teringat beberapa lembar rupiah yang kuterima tadi. Kukeluarkan mereka dari kantongku. Lebih dari cukup. Senyum simpul mengembang dari sudut bibirku. Dalam pikiranku muncul sesuatu. Nikmat ternyata tidak selalu muncul dari hal yang menyenangkan. Ya! Melihat tiga lembar uang merah dengan proklamator yang tersenyum dan didapat secara begitu saja merupakan suatu kenikmatan. Nikmat ternyata bisa muncul dari sesuatu yang menyakitkan kawan.
Aku bangkit. Kukantongi kembali lembaran-lembaran itu, kuraih motorku. Sebuah perjalanan yang terhenti kulanjutkan. Perjalanan memburu kenikmatan yang ditawarkan dalam diri segelas coklat hangat.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.