Cerita Pendek: BANGKU

Tata ruang salah satu kelas di sebuah sekolah tampak seragam dengan kelas lainnya. Berisi sekitar dua puluh bangku yang membentang rapi, empat ke samping, serta lima ke belakang. Mereka menghadap ke arah papan tulis yang terletak di depan kelas, yang masing-masing diisi oleh dua orang siswa. Di salah satu sudut depan, terdapat meja guru lengkap dengan alat tulis yang berada di atasnya, sementara terdapat alat kebersihan yang diletakkan di salah satu sudut belakang kelas. 
 

“Hai… Kita sekelas lagi, boleh kududuk disampingmu? Sepertinya kosong.”

Kualihkan perhatianku pada sumber suara, ia berdiri dengan senyuman manis menghiasi bibir mungilnya. Aku membalas senyumannya dan berkata, “Wah iya kita sekelas lagi, bosan juga melihatmu lagi, tapi tak apa, ini memang kursi kosong, tempati saja, semoga betah.”

“Pasti.”

Semua berawal ketika kami menginjak tahun ketiga sekolah. Kami semakin dekat setelah ia menjadi teman sebangkuku. Bangku belakang yang dekat dengan alat kebersihan diletakkan. Tingginya seratus enam puluh lima, beratnya mungkin lima puluh kilo, badannya ramping, mungkin akan cocok jika jadi pramugari. Dewi namanya. Parasnya menyerupai namanya, berwajah sawo matang, dihiasi hidung yang mungil dengan mata bulat serta pipi sedikit tembem, ditambah senyuman menghias di bibirnya begitu menakjubkan ketika memamerkan gingsul di sebelah sisi kanan barisan giginya.
Mungkin jika orang baru saja melihatnya, mereka akan mengira bahwa ia memang sesosok dewi yang dipindah tugas ke bumi karena suatu kesalahan. Ini bukan pertama kalinya kami bertemu dan berada di kelas yang sama. Dia mudah bergaul dan akrab dengan orang lain, termasuk juga denganku yang memiliki sifat pendiam dan cenderung introvert ini. Di bangku itu, kami menghabiskan hari demi hari di tahun terakhir kami. Kami saling membantu dalam pelajaran yang tidak kami kuasai. Berbagi cerita ketika jam istirahat, atau bahkan ketika pelajaran terasa membosankan. Sering pula kami saling bertukar jawaban ketika ulangan harian berlangsung.
Aku mulai merasakan hal-hal yang tidak biasa pada diriku seiring berjalannya waktu. Aku mulai merasakan desiran aneh ketika berada di dekatnya. Aku mulai merasa hidup ketika melihat senyumnya. Sebaliknya, aku merasa kegelisahan hebat ketika aku tak berada didekatnya. Kegelisahan itu membuatku terserang insomnia, setiap malam menantikan pagi datang untuk bertemu dengannya di sekolah.
Aku terus menerus bertanya perasaan apakah itu. Hingga akhirnya aku sadar bahwa aku jatuh cinta pada Dewi, gadis yang duduk bersisian dalam bangku yang sama, gadis dengan senyuman manis itu. Ingin rasanya aku mengatakan perasaanku padanya. Namun mengungkapkan itu bukan sesuatu perkara yang mudah. Dewi begitu dekat denganku, aku khawatir jika mengungkapkan perasaan itu bisa membuat hubungan dekat kami menjadi berantakan. Bahkan aku takut jika kuungkapkan padanya, Dewi justru akan menjauh dan menghindariku. Pada akhirnya kuputuskan untuk memendam perasaan cintaku terhadap Dewi dan hanya puas dengan hubungan persahabatan kami.
*
Waktu terus berlalu hingga sekarang kami berdua telah lulus SMA, aku dan Dewi telah menjadi mahasiswa. Kami kuliah di universitas yang berbeda, tapi tetap di dalam satu kota yang sama. Di mataku Dewi tumbuh menjadi sosok wanita yang sangat cantik. Dengan potongan rambut sebahunya yang lurus, dikombinasi bola mata bulat, pipi tembem yang seakan ingin menyembunyikan hidung kecilnya, dan senyum yang sangat menawan, membuat dadaku berdegup kencang ketika aku memandangnya.
Mungkin saat itu banyak lelaki mulai berusaha mendapatkan perhatian Dewi. Ia seperti bunga mawar yang dikerumuni kumbang. Aku sadar adanya kemungkinan tersebut dan itulah yang paling aku takuti, suatu hari seorang lelaki berhasil mendekati Dewi dan kemudian mereka mereka memutuskan menjadi sepasang kekasih. Namun di sisi lain aku masih saja takut mengutarakan cintaku karena pikiran tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Aku masih saja membuat berbagai alasan dengan berbagai kemungkinan itu. Semakin lama semakin membuatku tidak tenang. Hingga suatu saat keberanian itu datang begitu saja.
Hari itu, tahun kedua kuliah kami, sekitar awal bulan lima, aku mengajak Dewi bertemu di sebuah kedai makan Kami memang cukup lama tidak bertemu, kebetulan hari itu adalah hari kelahiranku. Kedai itu terletak sedikit ke tengah kota, dekat dengan perempatan yang cukup besar. Saat itu aku datang terlebih dahulu dan mengambil tempat duduk yang dekat dengan jendela tapi mudah terlihat dari pintu masuk. Terdengar suara musik dari seorang penyanyi terkenal mengalun menyelimuti suasana tenang kafe itu. Tak berapa lama sapaan lembut terdengar di telingaku. Sapaan berasal dari suara yang sangat kukenal, suara lembut yang lama tak kudengar dan sangat kurindukan.

“Hai, apa kabar?? selamat ulang tahun yah”

Aku ke melihat sumber suara, disana berdiri Dewi dengan senyuman manisnya yang sangat kukenal, mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Dia memakai setelan bermotif kotak dengan celana jeans berwarna biru. Dipadukan dengan rambut sebahunya, tampak tomboy tetapi juga begitu cantik.

“Te… Terima Kasih,” jawabku tergagap, langsung kubalas senyuman dan uluran tangannya.

Kupersilahkan Dewi untuk duduk. Kami berbicara lama saat itu, mulai hal remeh-temeh, persoalan berat, sampai mengenang masa-masa indah SMA kami. Hingga tak terasa waktu berlalu begitu saja. Tiba-tiba pembicaraan kami mengarah hal-hal yang romantis. Saat itu suasana juga sedang mendukung pembicaraan kami, karena alunan lagu yang diputar di kedai itu berubah syahdu. Saat itu aku melihat kesempatan untuk mengutarakan cintaku pada Dewi. Aku masih ragu tapi keberanian itu datang tiba-tiba. Masa bodoh dengan apa yang terjadi setelahnya, pikirku saat itu. Kuputuskan untuk memberitahukan tentang cintaku pada Dewi.

“Tahukah kau kalau aku sedang jatuh cinta sekarang?” tanyaku pada Dewi tiba-tiba.

“Oh ya?? Siapa wanita yang beruntung itu??”

Aku diam beberapa saat. Kulihat Dewi menungguku dengan raut muka penasaran.

“Apakah kau tahu aku jatuh cinta padamu?”

Akhirnya aku mengatakannya. Sebuah rahasia besar yang tersimpan lama akhirnya terucap dengan kata-kata. Kuceritakan semuanya pada Dewi. Tentang semua hal yang kurasakan, kebahagiaan ketika kulihat senyumannya, kecemburuan ketika ia akrab dengan lelaki lain, dan kegelisahan ketika aku jauh darinya. Kuceritakan semuanya dengan perlahan, satu demi satu dan dengan tutur kata yang lembut. Hingga kulihat matanya berkaca-kaca. Ia tersenyum tanpa tahu harus berkata apa. Jarinya mengenggam erat gelas minumannya yang tinggal terisi separuh.

“Terima kasih….”

Akhirnya hanya itu yang bisa dikatakannya. Kemudian kami sama-sama diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mendadak suasana canggung melanda kami.

“Dewi…” Aku berkata kemudian. “Aku tidak akan memintamu untuk menjawabnya sekarang, yang penting kau sudah mengetahui bagaimana cintaku padamu, itu sudah cukup. Untuk sekarang, aku  sudah puas dengan persahabatan kita sekarang.”

Aku tersenyum padanya. Senyuman juga mulai mengembang di bibir Dewi. Aku lega telah mengatakan perasaanku yang selama ini kusimpan kepada Dewi. Seperti yang kukatakan, aku memang sudah puas dengan hubungan persahabatan kami saat itu. Walaupun aku tahu seorang lelaki dan perempuan tak bisa selamanya bersahabat. Apalagi salah satu dari mereka telah mengatakan cintanya kepada yang lain.
*
Semenjak kejadian itu hubunganku dengan Dewi berkembang ke arah yang positif. Ya, kami menjadi lebih dekat daripada sebelumnya. Kami menjadi lebih sering bertemu, meluangkan waktu untuk bersama. Kami menjadi lebih terbuka satu sama lain. Seringkali saling bercerita tentang kegiatan masing-masing, saling bertukar pikiran tentang segala sesuatu tentang masalah yang kami hadapi, dan terkadang tentang rencana masa depan kami masing-masing. Kami bahkan telah saling mengenal orang tua masing-masing dan kami cukup dekat dengan mereka. Kedekatan kami ini terkadang membuat orang salah mengira bahwa kami merupakan sepasang kekasih. Aku berpikir bahwa hubungan kami bergerak ke arah yang positif. Namun disisi lain, Dewi belum juga memberikan jawabannya dan aku tidak pernah menanyakannya lagi, dan yang terjadi sebenarnya adalah hubungan kami masih tetap sama seperti sebelumnya. Hingga tak terasa waktu telah berlalu selama tiga tahun.

“Maukah kau ikut denganku jika aku berhasil mendapatkan pekerjaan itu?” Tanyaku pada Dewi suatu ketika.

Saat itu aku menginginkan sebuah pekerjaan di luar negeri. Aku berpikir mengajaknya pergi bersamaku. Dewi tidak memberikan jawaban padaku, ekspresi misterius tergambar diwajahnya. Ia seperti menyembunyikan sesuatu dariku, sangat rahasia, tidak boleh siapapun tahu, tertutama aku. Saat itu aku tidak begitu menyadari ekspresi itu. Aku tidak mengejar jawabannya lagi. Begitu saja pertanyaan itu mengambang tanpa mendapatkan jawaban.
Beberapa minggu kemudian, ketika matahari bersinar cukup terik aku mendapatkan kabar menggembirakan. Aku berhasil mendapatkan pekerjaan itu. Alangkah gembiranya aku saat itu, ingin segera kukabarkan berita ini kepada pada Dewi. Aku segera bergegas kerumahnya yang jaraknya tidak terlalu jauh. Tapi, kulihat suasana yang cukup asing ketika aku sampai di sana sepuluh menit kemudian. Beberapa mobil berjajar memenuhi sisi jalan. Aku penasaran, apakah mereka sedang menggelar hajatan. Kuputuskan masuk ke halaman rumahnya. Ada keramaian di rumah Dewi. Orang-orang belum menyadari kehadiranku. Semakin mendekati pintu, semakin jelas peristiwa yang terjadi hari itu.
Kulihat Dewi berdiri di satu sisi ruang depan, ia memakai baju kebaya warna biru, rambut pendeknya ditata sedemikian rupa hingga serasi dengan kebayanya. Ia tampak begitu cantik dan senyum bahagia tampak sekali diwajahnya. Ia berdiri berdampingan dengan seorang laki-laki. Berbadan tinggi dan tegap, ia terlihat seolah seorang ksatria gagah yang siap meminang seorang putri. Dewi dan lelaki itu tiba-tiba mengankat telapak tangan mereka ke depan dada, menunjukkannya ke semua orang yang ada disana. Semua orang terlihat tersenyum bahagia. Dari situlah aku tahu, ada cincin yang sama melingkar di jari manis mereka. Aku sadar apa yang terjadi di rumah itu, disana Dewi dan lelaki itu bertunangan. Dewi belum menyadari keberadaanku disana. Keberadaan seseorang disana yang tak diharapkan. Aku berdiri mematung disana selama beberapa saat. Dadaku bergemuruh, hingga menimbulkan rasa sakit. Amarah menguasaiku, tapi kemudian aku sadar. Aku tidak mau merusak kebahagiaan Dewi. Aku berbalik, berjalan pergi dari rumah itu, tenpa pamit dan tanpa menoleh. Menjauhi sumber rasa sakit, bukankah sifat alami manusia itu adalah menjauhi sumber rasa sakit dan mendekati rasa aman. Tanpa kusadari, Dewi melihatku pergi menjauh dari halaman rumahnya, hal itu baru kuketahui beberapa waktu kemudian.
*
Aku tidak sempat lagi memikirkan peristiwa yang terjadi di rumah Dewi. Pikiran dan waktuku begitu tersita untuk mengurus tetek bengek perpindahanku ke tempat perantauanku. Aku begitu sibuk, karena waktu keberangkatan yang semakin dekat. Terkadang aku berpikir bahwa kesibukanku ini datang di waktu yang pas, ia datang seperti dewa penyelamat untuk melupakan peristiwa menyakitkan itu. Dewi sangat sering mencoba menghubungiku, berbagai panggilan dan pesan darinya masuk ke telepon genggamku. Namun tak pernah kujawab, bukan karena aku menghindarinya, tapi karena aku terlalu lelah dengan persiapan yang sangat menguras tenaga itu.
Tak terasa waktu keberangkatanku telah tinggal sehari lagi. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati kota untuk terakhir kalinya. Hari beranjak sore dan diselimuti mendung. Beberapa tempat kudatangi. Tanpa kusadari perjalananku sampai di sekolah lamaku, gedung itu terletak di pinggir jalan besar dengan dua pohon besar mengapit pintu gerbangnya. Aku masuk ke sana dan berjalan berkeliling. Melintasi ke lapangan sekolah, lapangan basket, dan kelas-kelas yang sudah kosong. Beberapa siswa masih terlihat di sekolah, masih terlihat bersantai setelah pulang sekolah. Melihat mereka, aku jadi teringat bagaimana dulu kehidupan sekolah ku. Aku tersenyum mengingat itu semua. Akhirnya aku sampai di suaktu kelas. Kelas yang memiliki banyak kenangan, dimana aku menghabiskan tahun terkakhirku. Kelas itu sudah kosong.
Aku melangkah masuk ke dalam kelas. Kulihat sekeliling kelas, tidak ada yang berubah dari tata ruang kelas itu. Papan tulis, papan pengumuman, papan absensi, foto presiden dan wakilnya, meja guru, deretan bangku, tempat sapu tergantung, semuanya sama seperti ketika aku lulus beberapa tahun lalu. Aku berjalan mengitari penjuru kelas, meniti jalan yang tercipta di antara deretan bangku. Hingga akhirnya aku sampai dibangku itu. Bangku yang terletak begitu dekat dengan tempat dimana sapu diletakkan, bangku paling belakang di deretan meja yang berjajar di depan meja guru. Bangku yang cukup terpencil dari pandangan langsung guru, dimana kau bisa tidur tanpa diketahui guru. Aku duduk disana, mencoba merasakan kembali tidur dibangku itu, kutelungkupkan kepalaku ke meja, merasakan nostalgia. Cukup lama aku duduk diam. Mataku sempat terpejam sesaat, hingga aku tersadar oleh suara langkah kaki yang mendekat. Tak berapa lama suara itu berhenti, bersamaan itu kurasakan kehadiran seseorang.

“Hei… Kau sedang tidur?” suara itu mengagetkanku. “Apa kau tidak takut ditegur satpam?”

Aku sangat mengenal suara itu, akrab di pendengaranku. Kudongakkan kepalaku, aku melihatnya berdiri di depan pintu kelas tersenyum manis. Kulihat ada sebuah cincin melingkar di jari manisnya. Aku melihat itu dengan tatapan dingin, mencoba menyembunyikan perasaanku. Ia tetap berdiri disana beberapa lama, seolah menunggu jawaban pertanyannya. Tidak ada satupun dari kami yang berkata, kesunyian menyebar.

“Masuklah…” kataku.

Dewi berjalan perlahan ke arahku. Sesaat ia berhenti, bingung memilih untuk duduk dimana. Aku menepuk kursi di sebelahku. Kursi yang dulu biasa ia duduki. Sesaat ia ragu, tapi kemudian ia duduk disebelahku juga. Kami berdua diam membisu.

“Tak kusangka kelas ini benar-benar tidak berubah. Datang ke kelas ini mengingatku masa-masa dulu.” Kataku kemudian

 “Yaaahhh, kelas ini memang tidak berubah sama sekali.”

Aku tidak menimpalinya dan Dewi juga diam. Kali ini ia menundukkan kepalanya. Sepertinya Dewi ingin mengatakan sesuatu, tapi dia ragu ingin memulai darimana. Aku menunggunya berbicara, tapi ia tetap diam, Disaat rasa canggung mulai memuncak, aku menjadi tidak sabar lagi.

“Apakah kau ingin mengatakan sesuatu padaku?”

Dewi tetap diam membisu. Aku kembali menunggunya berbicara.

“Kenapa tidak memberitahuku kalau kau akan pergi besok?” suaranya lirih terdengar.

“Kau kemari hanya ingin bertanya tentang itu?” Tanyaku balik sambil tersenyum. “Yah, memang aku ingin memberitahumu secepatnya, tapi ada sesuatu terjadi, dan aku harus mempersiapkan semua hal.”

Raut wajah Dewi berubah, menunjukkan ketidakpuasan atas jawabanku. Ia ingin mendengarkan penjelasanku lebih detail.

“Apakah sesuatu yang terjadi itu adalah…. Ketika kau tak sengaja datang ke acara pertunanganku itu?”

“Bukan, bukan itu.” Jawabku menghindar. Aku terkejut ia menembakku dengan telak.
“Jangan bohong!” teriaknya. “Kau tak sengaja datang pertunanganku kan? Aku tau kau datang saat itu dan aku melihatmu berbalik pergi dari rumahku.”

Aku terkejut mendengarnya, aku tidak tahu kalau saat itu ia melihatku pergi. Aku menatap wajahnya dalam-dalam. Raut mukanya masih meminta penjelasan.

“Yah, memang.” Kataku akhirnya. “Aku tak sengaja memang datang saat itu, aku melihatmu memakai cincin di jarimu dan tersenyum dengan bahagia. Mereka semua yang ada disana juga terlihat sangat bahagia. Mengapa kau tidak memberitahuku? Bukankah itu hari bahagiamu?”

“Aku tidak bisa memberitahumu. Karena….”

Dewi menghentikan kata-katanya. Ia terdiam cukup lama. Aku kembali menunggunya berbicara.

“Karena aku tak bisa menyakitimu.” Katanya pada akhirnya. Ia menundukkan kepalanya

Aku menatap Dewi dalam-dalam, bertanya-tanya. Tiba-tiba dengan lembut ia memegang erat tanganku. Kemudian ia bercerita. Tentang hubungan kami selama ini yang begitu dekat. Aku yang selalu ada untuknya dan mendukungnya. Semua itu membuatnya merasa nyaman. Namun semua yang ia rasakan itu hanya sebatas rasa seorang adik kepada kakaknya. Hingga kemudian ia bertemu dengan seseorang, yang membuat hidupnya terasa lengkap. Dewipun  tahu bahwa dialah seseorang yang ia ingin habiskan hidupnya bersama. Tapi Dewi tidak bisa memberitahukan itu semua padaku. Karena ia tidak bisa menyakitiku. Karena dia tahu aku mencintainya begitu lama.
Aku tertegun mendengar perkataan Dewi. Baru kali ini kulihat Dewi yang begitu jujur. Mendengar perkataannya, melihatnya menahan semua yang ia rasakan selama ini, entah kenapa semua kekecewaanku perlahan menghilang. Aku masih melihat Dewi masih tertunduk dalam-dalam dengan masih menggenggam erat tanganku. Ia menahan air matanya agar tak terjatuh, dengan semua kekuatannya. Aku melepaskan genggamannya, tanganku bergerak mengusap lembut kepalanya. Dewi mendongak menatapku, aku mencoba tersenyum padanya.

“Maafkan aku…..”  

“Terima kasih kau telah jujur padaku. Kini kau telah menemukan kebahagiaanmu. Sekarang giliranku untuk menemukan kebahagiaanku sendiri. Jangan pikirkan aku. Kehadiranmu adalah anugerah terbesar di hidupku. Aku tak akan pernah melupakannya. Kau adalah kenangan indah masa mudaku. Selamat atas pertunanganmu. Semoga kau bahagia. Kalau kau tak bahagia….”

Aku terdiam. Walaupun aku telah berkata seperti itu, aku masih belum bisa merelakan Dewi sepenuhnya. Dewi masih diam menungguku berbicara, ia menatapku dalam.

“Kalau kau tak bahagia aku tak akan memaafkanmu.”


Aku akhirnya mampu mengatakannya. Aku tersenyum padanya dan kembali mengusap kepalanya. Dewi kembali tersenyum seperti biasanya. Senyuman yang sangat indah sore itu. Yang terindah selama ini. Tak berapa lama kami berjalan beriringan keluar dari sekolah itu. Hujan mulai turun dan semakin lebat. Kami berdua memakai payung dan berpisah di gerbang sekolah. Kulihat punggung Dewi yang berjalan menjauhiku. Rasa sakit kembali menguasaiku. Kali ini aku sadar bahwa aku telah benar-benar merelakan Dewi. Melupakan Dewi dan semua kenangan yang telah terjadi. Aku tidak bisa mencintai Dewi. Kisah cintaku kini telah berakhir. Dari bangku itulah sebuah kisah berawal dan di bangku yang sama kisah itu berakhir. Hujan masih turun dengan lebatnya. Kurasakan yang basah di pipiku. Hangat. Aku tahu itu bukan air hujan. Aku berbalik ke arah yang berlawanan dengan Dewi. Berjalan meninggalkan kisah cinta di masa mudaku.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.